TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mencecar Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, soal pemanggilan paksa hingga penyanderaan terhadap pihak-pihak yang mangkir dari panggilan dewan dalam rapat kerja, Kamis, 12 Oktober 2017. Isu pemanggilan paksa ini sempat memanas kala Komisi Pemberantasan Korupsi menolak hadir ketika dipanggil Panitia Khusus Hak Angket.
Tito menjelaskan bahwa Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) secara ekplisit menyebutkan DPR bisa meminta bantuan kepolisian untuk memanggil paksa hingga menyandera. Namun, kata dia, belum ada hukum acara yang jelas mengenai hal ini.
Baca: Komisi Hukum Pertanyakan Ketidakhadiran KPK di Pansus Angket
"KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) selama ini tidak mengenal pemanggilan paksa atas permintaan DPR, termasuk penyanderaan," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 Oktober 2017.
Ketidakjelasan aturan ini, menurut Tito, membuat kepolisian ragu dalam bertindak. "Apakah hukum acaranya menganut KUHAP yang enggak mengenal itu, ataukah bisa langsung dipraktekan," ucap mantan Kepala Densus 88 ini.
Karena itu, ia melanjutkan, Polri akan membahas mengenai hal itu secara internal. Dia juga akan meminta tanggapan dari para pakar hukum. "Jangan sampai langkah Polri jadi bumerang," ujarnya.
Belum selesai Tito memberikan penjelasannya, Ketua Komisi Hukum sekaligus pimpinan rapat, Bambang Soesatyo, menyampaikan interupsinya. Menurut Bambang, UU MD3 sudah jelas menulis Polri adalah institusi yang bisa dimintai tolong. "Kalau ditulisnya Pamdal kami enggak akan ganggu Polri," kata Bambang yang merupakan kader Partai Golkar.
Baca juga: Polri Sempat Minta Aris Budiman Tak Datang ke Pansus Angket
Tito berkukuh pemanggilan paksa dan penyanderaan ini belum ada hukum acara dan teknis yang mengaturnya. "UU itu tidak lengkap, coba saja ada satu ayat atau pasal yang teknisnya disesuaikan KUHAP," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Hukum, Desmond J. Mahesa meminta Kapolri tidak berusaha untuk menerjemahkan UU MD3. Menurut dia, tugas polisi adalah melaksanakan undang-undang tersebut.
Politikus Partai Gerindra itu berujar polisi pernah melakukan pemanggilan paksa atas permintaan dewan saat korps Bhayangkara itu dipimpin Jenderal Sutarman. "Menurut saya, konsistensi institusi Polri patut dipertanyakan," ucapnya.
Tito membenarkan bila di jaman Sutarman ada pemanggilan paksa. Namun, hingga kini belum pernah ada pengalaman yang mengharuskan polisi sampai menyandera. Menurut dia, yang pernah terjadi hanyalah pemanggilan paksa disertai lobi agar yang bersangkutan mau menghormati DPR. "Permasalahannya, kami menghadapi kasus tapi yang bersangkutan tidak mau datang," tuturnya.
Sementara itu, politikus Partai Golkar yang juga menjabat sebagai Ketua Pansus Angket KPK, Agun Gunandjar Sudarsa, menilai pemanggilan paksa dan penyanderaan atas permintaan DPR tidak masuk ranah hukum pidana melainkan bagian hukum tata usaha negara.
Agun berujar dalam ranah hukum tata usaha negara tidak dikenal hukum acara. "Jadi kalau mau dipertimbangkan, harus dibedakan apa yang dibicarakan tentang upaya paksa ini," ujarnya.
Bambang Soesatyo, selaku pimpinan rapat, akhirnya memutuskan untuk menghentikan pembahasan mengenai isu ini. Ia mempersilakan Tito melanjutkan paparannya terkait isu lainnya. "Kami harap ada kabar baik dari Polri untuk melaksanakan undang-undang ini," kata dia.
Baca juga: Pak Jokowi, Ternyata Inilah Biang Heboh Senjata Brimob